KAJIAN HISTORIS
KEPEMIMPINAN NON MUSLIM
Kepemimpinan non muslim bukan
merupakan suatu hal yang baru ditemui pada zaman sekarang ini, nyatanya pada
masa khalifah Ar-Rasyidin pun keberadaan kepemimpinan non muslim di tengah
masyarakat muslim sudah lebih dulu ada. Sebagai contohnya Al-Zuhaili menunjuk
kebijakan Khalfiah Abu bakar Ash-Shiddiq yang pernah mengangkat seorang Non-Muslim asal Romawi untuk
menangani masalah administrasi. Kebijakan ini diikuti oleh khalifah sesudahnya.
Para khalifah Abassiyah sering melibatkan orang-orang Yahudi dan nasrani dalam
masalah-masalah kenegaraan.[1]
Berbeda dengan Al-Zuhaili Ibn-Arabi
sebaliknya menyatakan, umat islam tidak hanya dilarang menjadikan Non-Muslim
sebagai kepala negara. Tapi tidak diperbolehkan menyerahkan jabatan publik
lainnya kepada non-Muslim. Dalam hal ini Ibn-Arabi juga merujuk kebijakan
politik umar bin Khatab. Sewaktu menerima informasi Abu Musa Al-aysari di Yaman
mengangkat seorang dzimmi sebagai seorang sekretaris pribadinya, Umar bin
Khatab segera mengirimkan surat kepadanya yang berisi perintah agar abu Musa
segera memecat sekretarisnya yang Non Muslim itu. Argumentasinya disamping
bertentangan dengan ayat-ayat yang melarang mengambil non-Muslim sebagai wali
sebagaimana disinggung sebelumnya juga karena menurut Umar non-Muslim itu tidak
dapat menertima dengan tulus saran-saran orang lain dan tidak dapat dipercaya.
Dalil yang digunakan Al-Zuhaili dan
Ibn Arabi meskipun sama-sama bersumber dari Umar Ibn Khatab jelas kontradikitif
satu sama lain. Untuk mengkompromikannya, dapat dikembalikan pada argumentasi
yang di berikan Umar sendiri saat memerintahkan Abu Musa Al-Asyari memcat
sekretarisnya. Salah satu argumentasi yang dimajukan Umar sebagaimana
disinggung adalah karena non-Muslim yang diangkat Abu Musa Al-Asyari boleh
jadi, dimata Umar tak dapat dipercaya karena itu ia memerintahkan Abu Musa
untuk memcatnya tapi disaat non muslim dapat dipercaya maka sebagimana dilakukan
Umar sendiri ia dapat diserahi jabatan-jabatan publik yang kurang strategis,
semisal menjadi sekretaris negara dan atau jabatan-jabatan kurang strategis
lainnya[2]
Salah seorang khalifah Abassiyah
yang melibatkan non-muslim di dalam masalah kenegaraan adalah khalifah ke-16
Dinasti Abasiyyah yaitu Sultan Al-Mu’tadid Billah. Ia menjabat menjadi seorang khalifah menggantikan
pamannya pada tahun 279 H/892 M dalam usia 37 tahun.[3]
Ia memrintah selama 9 tahun 9 bulan
lamanya. Semasa pemrintahannya beliau mengangkat Umar bin Yusuf yang merupakan
seorang kristen yang taat sebagai gubernur di Al-Anter Irak.[4]
Salah satu ulama yang mendukung
tentang adanya kepemimpinan non-Muslim adalah Ibnu Taimiyah. Hal ini dapat
dibuktikan menurut pendapatnya “Allah mendukung negara yang adil meski bercorak
atheistik, namun Dia tidak akan memberikan dukungan pada negara yang tidak adil
kendati dijalankan atas dasar keimanan”.
Karenanya, dalam sebuah negara Islam
dengan hukum Allah yang menjadi perinsip pemerintahannya, unsur keadilan
seharusnya tidak dikesampingkan. Prinsip keadilan adalah bagain dari hukum
Allah itu sendiri sebagaimana ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Quran dan
hadits yang dijadikan sandaran Ibnu Taimiyah. Jika keadilan menjadi dasar suatu
bentuk pemerintahan,maka sangat mungkin kesuksesan akan diraih, siapapun yang
mengendalikan pemerintahan.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Syarif Mujar, 2006,
Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta PUSTAKA SINAR HARAPAN.
Ibrahim Khalid Jindan, 1995, Teori
Politik Islam, Surabaya, Risalah Gusti
Al-Isy Yusuf,2007 ,Dinasti Abasiyah
II, Jakarta ,Pustaka Al-Kautsar
0 komentar:
Posting Komentar